Monday, February 15, 2010

Titip Salam, Sunnahkah?

Budaya Titip Salam

Budaya titip salam di Indonesia sudah sangat mendarah daging. Sering kita mendengar seseorang titip salam untuk temannya yang ada di negeri seberang, seorang sahabat titip salam untuk sahabatnya yang ada di luar kota, satu keluarga di kota titip salam untuk kerabatnya di desa, dst.

Budaya titip salam ini pun tidak hanya populer dikalangan remaja atau orang tua, bahkan tak jarang kita dapati bocah-bocah ikut meramaikannya. Hanya saja yang sangat disayangkan, banyak kalangan muda-mudi mengotori budaya mulia ini denga titip salam kepada lawan jenis yang belum halal baginya, baik berupa salam cinta atau salam perkenalan yang dapat berbuntut kepada hubungan yang diharamkan.


Titip Salam, Sunnahkah !?

Apabila kita menengok jauh ke zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, ternyata budaya titip salam sudah ada pada masa beliau. Dan ternyata budaya ini adalah salah satu sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, salah satu budaya Islam yang mulia, yang secara turun temurun ramai duterapkan oleh kaum muslimin. Dan –alhamdulillah- ini merupakan salah satu sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang tumbuh subur di tengah-tengah kaum muslimin dunia.


Teks Hadits

Ada beberapa hadits yang menerangkan kepada kita budaya titip salam seperti ini. Berikut ini kami sebutkan dua diantaranya:


Hadist pertama,

Dari Aisyah radliyallahu’anha ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berkata: “Wahai Aisyah, ini ada Jibril, dia titip dalam untukmu.” Aisyah berkata: “Aku jawab, wa’alahissalam wa rohmatulloh (semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurahkan untuknya), engkau dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. al-Bukhori, no.2217, Muslim, no. 2447)


Hadist kedua,

Dari Gholib rahimahullah ia berkata: Sesungguhnya kami pernah duduk-duduk di depan pintu rumah al-Hasan al-Basri rahimahullah, tiba-tiba seseorang datang (kepada kami) dan bercerita: Ayahku bercerita dari kakekku, ia (kakekku) berkata: Ayahku pernah mengutus untuk menemui Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lalu ia berkata: Datangilah beliau dan sampaikan salamku kepadanya. Ia (kakekku) berkata: Maka aku menemui beliau dan berkata: Ayahku titip salam untukmu. Maka beliau menjawab: “Wa ‘alayka wa’ala abikassalam” (semoga keselamatan tercurah kepadamu dan kepada ayahmu)” (Hadits hasan. Lihat: Misykat al-Mashabih, no. 4655, Shahih Abu Dawud, no. 5231).


Tata Cara Menjawab Titip Salam

Apabila ada teman, saudara, kerabat, keluarga atau siapa saja yang titip salam melalui seseorang kepada kita, maka kita wajib menjawabnya. Allah ta’ala berfirman:


وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)…..” (An-Nisa’ 86)


Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Penghormatan di sini adalah ucapan salam, dan makna inilah yang dimaksudkan dalam ayat ini.”(Tafsir Fath-al-Qadir, surat an-Nisa’ ayat 86)


Imam al-Qurthubi rahimahullah bertutur: “Ulama sepakat bahwa memulai salam hukumnya sunnah yang sangat dianjurkan, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib” (Tafsir Fath al-Qadir, surat an-Nisa ayat 86)


Dari ayat di atas dapat dapat kita ketahui dua cara menjawab salam:

Pertama, sesuai dengan ucapan salam.

Kedua, menambah dengan beberapa kata yang disyariatkan.


Sebagai contoh: bila seorang mengucapkan, “Assalamu’alaykum”, maka minimal kita menjawabnya dengan “wa’alaykumussalam”, dan yang lebih baik ditambah dengan kata “warohmatulloh”, dan yang lebih baik lagi ditambah dengan kata “wa barokaatuh.”


Hanya saja, sunnah titip salam tidak sama dengan mengucapkan secara langsung, yang mana pada saat kita titip salam hanya berkata, “Titip salam untuk fulan” atau “Sampaikan salam buat fulan”, maka untuk menjawabnya kita pergunakan kata paling minimal, yaitu “wa’alaihissalam, dan semakin ditambah maka semakin baik. Ini poin pertama.


Poin kedua, lalu bagaimana dengan orang yang menyampaikan salam tersebut, apakah kita mendoakannya juga atau tidak? Maka dapat dijawab: ya, kita mendoakannya juga. Akan tetapi, ulama menjelaskan bahwa mendoakan orang yang menyampaikan salam tersebut hukumnya adalah sunnah (dianjurkan).


Ibnu hajar al-Asyqolani rahimahullah berkata: “Dan dianjurkan untuk mendoakan orang yang menyampaikan salam.” (Fath al-Bari, jilid 1, hlm. 41)


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dan diantara tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah, apabila seseorang menyampaikan salam dari orang lain untuk beliau, maka beliau menjawab salam tersebut kepadanya dan kepada orang yang menyampaikannya.” (Zaad al-Ma’ad,jili2, hlm.427)


Hal ini dapat kita ketahui dari jawaban Aisyah radliyallahu’anha yang hanya menjawab salam untuk jibril ‘alaihissalam saja dan tidak ikut mendoakan beliau, dan beliaupun tidak mengingkarinya. Andaisaja hukumnya wajib, tentu saja Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sudah meluruskan ucapan Aisyah.

Berkenaan dengan tambahan doa untuk orang yang menyampaikan salam tersebut, maka telah ditunjukkan oleh hadits kedua di atas.


Petikan Faidah

Dari uraian ringkas di atas dapat kita sarikan bahwa:

Budaya titip salam merupakan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Budaya titip salam tumbuh subur di tengah-tengah kaum muslimin, walhamdulillah.
Memulai salam hukumnya sunnah, sedangkan menjawab salam hukumnya wajib.
Kewajiban menjawab salam sesuai dengan ucapan salam, jika ditambahi dengan beberapa kata yang disyariatkan, maka itu lebih baik lagi.
Dianjurkan ikut mendoakan orang yang menyampaikan salam.

Renungan

Telah kita terangkan di atas dan dapat kita saksikan bersama, bahwa fenomena budaya titip salam sangat menjamur sekali di Indonesia –insyaAllah juga diseluruh dunia-. Lantas, bagaimana jika kaum muslimin di seluruh penjuru dunia begitu semangat dalam menghidupkan sunnah Rasul shallallahu’alaihi wa sallam yang lain, sebagaimana mereka menghidupkan sunnah yang satu ini, pemandangan seperti apa sekiranya yang dapat kita saksikan?! Kita hanya bisa berdoa, ”Semoga Allah mewujudkannya”.


Sumber: Majalah Adz-Dzakiirah Al-Islamiyah Vol.7 No.7 Edisi 49-1430 H hlm.41-44

Monday, January 25, 2010

Rebo Wekasan

Latar Belakang Rebo Wekasan

Rebo Wekasan atau yang dikenal juga dengan istilah rebo pungkasan adalah Rabu terakhir di bulan Safar. Pada hari itu, terdapat momentum khusus yang lazim dilakukan sebagian besar masyarakat Jawa tempo dulu.
Ada banyak daerah yang mengklaim kemunculannya. Gresik, misalnya, mengklaim bahwa tradisi rebo wekasan berasal dari sana. Disebutkan bahwa zaman dulu terjadi bencana kekeringan di sebuah desa bernama Pelaman. Padahal Sunan Giri telah memberikan petunjuk kalau ada sumber air yang sangat besar di sekitar Masjid Pelaman. Sayang, lama kelamaan sumber air tersebut menyusut.
Sunan Giri lalu memberi petunjuk kepada warga; jika mereka menemukan tempat yang banyak tumbuh pepohonan, maka akan ada sumber air di sana. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tersebut di sebuah desa bernama Pongangan.
Kebetulan, hari itu bertepatan dengan hari Rebo (Rabu) terakhir di bulan Safar. Untuk mengenangnya, warga pun senantiasa memperingati peristiwa tersebut dengan beragam upacara adat.
Di Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plered, Bantul, juga mengklaim menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni digelarnya sebuah upacara pada Selasa malam atau malam Rabu.
Konon, hari Rabu terakhir dalam bulan Safar merupakan pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo pungkasan. Karena itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun seminggu sebelumnya, terlebih dahulu diselenggarakan pasar malam.
Upacara rebo wekasan ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, serta ungkapan terima kasih pada kyai pertama di Wonokromo –Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit- yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Selain itu, ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan jalan-jalan ke pantai untuk mandi dengan maksud untuk menyucikan diri dari segala kesalahan dan dosa. Namun ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul bersama) di pagi hari di sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhiri dengan do’a tolak bala’. Setelah itu, barulah jamuan dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.
Masih dengan maksud menolak bala’, di sebagian tempat ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan sholat, baik dilakukan secara sendirian maupun berjama’ah. Karena itulah sholat tersebut dinamakan sholat rebo wekasan. Sholat ini biasanya dikerjakan pada Rabu pagi akhir bulan Safar setelah sholat Isyraq, kira-kira mulai masuk waktu Dhuha.
Terkait dengan sholat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy dalam Rebo Wekasan (lihat www.bimasislam.depag.go.id entry rebo wekasan) menyatakan bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari sebuah buku berjudul “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering melaksanakan sholat pada hari Rabu di akhir bulan Safar. Karena pada hari itu diturunkan 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana ke bumi.

Menyikapi Tradisi Rebo Wekasan

Banyaknya cara dan versi sejarah maupun mitos kemunculannya mengindikasikan bahwa praktik rebo wekasan merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sebagian besar masyarakat Islam di Jawa.
Keinginginan mengungkapkan syukuran, membersihan diri, membaca do’a tolak bala’ dan doa selamat, serta bergembira bersilaturrahim dengan makan bersama tak lain merupakan ajang tahunan warga setempat yang sangat positif.
Sayangnya tak dimungkiri, cukup banyak juga yang memodifikasi perhelatan rebo wekasan ini dengan acara di luar yang disebutkan di atas. Terutama sampai menjurus kepada hal-hal yang berbau syirik, apalagi pada perbuatan asusila dan tindak kriminal.
Seperti pelaksanaan sholat rebo wekasan yang secara nyata bersumber pada pendapat ahli mukasyafah saja. Atas dasar itulah mayoritas ulama mengatakan sholat tersebut tidak dianjurkan, dengan alasan tidak ada hadits yang menerangkannya.
Sikap yang baik terhadap hal ini adalah mengembalikannya pada aturan bahwa semua ibadah didasarkan pada perintah. Jika perintah tersebut tidak ada, tentunya khawatir akan melenceng dari yang digariskan agama. Sebab hakikatnya semua sholat yang kita kerjakan baik wajib maupun sunnah dapat menolak bala’.
Selain sholat rebo wekasan, adanya anggapan bahwa mandi Safar sebagai media pencuci dosa, tarian bersama sinden dengan memasukkan uang ke kemben bagian dalam dada sinden, minuman-minuman, judi dan seterusnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari perhelatan rebo wekasan. Tradisi seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Padahal masih banyak lagi hal-hal positif dari tradisi rebo wekasan yang bisa diterima. Apalagi kalau kita bisa menjadikan tradisi ini sebagai media syiar Islam. Karena itu, perlu kearifan dalam memaknai dan mempraktekkan tradisi ini.

Isro' Mi'raj Nabi Muhammad

Setiap tahun, umat Islam di Indonesia selalu mengadakan kegiatan rutin keagamaan. Banyak kegiatan rutin keagamaan yang dilakukan, misalnya tahun baru Islam, maulid Nabi, nuzulul qur’an, hari raya idul fitri, hari raya kurban, halal bi halal, dan masih banyak lagi yang lainnya, termasuk di antaranya adalah Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang senantiasa kita peringati pada bulan Rajab.
Sebagai umat Islam, sudah selayaknya untuk mengetahui biografi perjalanan hidup sang pembawa risalah, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai nabi akhir zaman, yang ajarannya takkan lapuk oleh masa dan takkan pudar oleh waktu, yaitu sampai hari kiamat. Detik demi detik perjalanan beliau seyogyanya kita ketahui dan kita teladani. Namun, kita sebagai manusia biasa tentu sangat terbatas literatur kita untuk mengetahui sejarah beliau yang begitu panjang dan melelahkan.
Oleh karena itu, kendatipun kita tidak tahu sejarah kehidupan beliau waktu demi waktu, paling tidak kita harus mengetahui tiga peristiwa besar yang beliau alami semasa beliau masih hidup, yaitu 1) peristiwa turunnya wahyu yang pertama dengan diperingatinya hari nuzulul qur’an, 2) peristiwa perjalanan beliau pada suatu malam dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina yang dilanjutkan sampai ke atas Arasy untuk menerima perintah sholat lima waktu yang diperingati pada hari Isra’ Mi’raj, dan 3) peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari kota Mekah ke kota Madinatul Munawwaroh yang diperingati sebagai tahun baru Islam.
Untuk itu dalam tulisan ini penulis akan mengetengahkan kisah perjalanan beliau pada suatu malam yang dikenal dengan Isra’ Mi’raj.

A. Pengertian Isra’ Mi’raj

Menurut bahasa Isra’ bermakna berjalan di waktu malam. Menurut istilah, isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina pada suatu malam.
Mi’raj menurut bahasa berarti naik ke atas. Sedangkan menurut istilah, mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsha di Palestina ke Arasy.
Semua kejadian dalam kisah ini sangat luar biasa dan tak dapat dinalar dengan akal sehat manusia karena perisitiwa ini terjadi karena atas kehendak Allah bukan kehendak Nabi Muhammad SAW.
Dalil naqli yang menguatkan kisah perjalanan Nabi ini adalah seperti yang termaktub dalam Surat Al-Isra’ ayat 1 sebagai berikut:


Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya[847] agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.


B. Latar Belakang Peristiwa Isra’ Mi’raj

Peristiwa Isra’ Mi’raj berawal dari kesedihan Nabi Muhammad setelah ditinggal mati oleh orang terdekat dan terkasih beliau, yaitu Abu Thalib, paman beliau dan Siti Khadijah, istri tercinta beliau. Sehingga dengan meninggalnya mereka berdua, perilaku kaum kuffar Quraisy semakin menjadi-jadi karena mereka berdualah pelindung Nabi dalam berjuang dan berdakwah.
Suku Quraisy sudah tidak segan-segan lagi menampakkan kemarahannya dan kebenciannya kepada beliau dan para pengikut beliau. Berbagai bentuk penyiksaan, penindasan, pemboikotan dan serangkaian kekerasan fisik lain mereka lakukan kepada Nabi dan pengikutnya, sehingga akhirnya kesedihan demi kesedihan terus mendera beliau. Sehingga Allah dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya menghibur beliau dengan peristiwa isra’ mi’raj ini.

C. Fase Perjalanan Nabi Dan Apa Saja Yang Ditemui Beliau Pada Fase-Fase Itu

Ada tiga fase perjalanan Nabi dalam peristiwa isra’ mi’raj ini, yaitu:

1. Dari Bumi ke Bumi
Sebagaimana kita maklum bahwa isra’ adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dua masjid ini sama-sama ada di bumi. Oleh karena itu, layak jika fase pertama adalah perjalanan Nabi pada fase pertama ini adalah dari bumi ke bumi.
Sebelum beliau diberangkatkan bersama malaikat Jibril terlebih dahulu Jibril membedah dada beliau dan membuang segala kotoran yang ada di hati beliau dan mencucinya dengan air zam-zam, ditaruhkan hati itu pada bejana emas yang berisi penuh dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Setelah itu diletakkannya kembali hati itu ke dada Rasulullah. Hikmah dari pembedahan ini adalah supaya beliau siap menghadap ke hadirat Allah SWT. Pembedahan ini bukanlah pembedahan pertama yang dilakukan Jibril kepada Nabi Muhammad, tetapi merupakan pembedahan yang kelima, selain pada usia 4, 10, 15, dan 40 tahun.
Setelah beliau dibedah, berangkatlah beliau ditemani maiaikat Jibril dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina dengan mengendarai buroq. Dalam perjalanan ini ada beberapa tempat yang beliau singgahi, yaitu kota Yatsrib, kota Madyan, bukit Thursina, dan kota Baitul Lahmin.

2. Dari Bumi ke Langit
Setibanya di Masjidil Aqsha Palestina, malaikat Jibril beradzan, maka datanglah seluruh roh-roh para nabi ke masjid itu dan bersholat jamaah dengan beliau dan beliau bertindak sebagai imam. Setelah sholat beliau ditawari malaikat Jibril segelas air susu dicampur madu dan segelas arak, akhirnya beliau memilih susu bercampur madu sebagai simbol bahwa beliau dan umatnya berada dalam kesucian.
Setelah itu, bergegaslah beliau menuju langit bersama malaikat Jibril. Di setiap lapis langit itu, beliau berpapasan dengan beberapa nabi terdahulu. Langit ke satu bertemu dengan Nabi Adam, langit kedua bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya, di langit lapis tiga bertemu dengan Nabi Yusuf, di langit lapis empat bertemu dengan Nabi Idris, di langit lapis lima bertemu dengan Nabi Harun, di langit lapis enam bertemu dengan Nabi Musa, dan di langit lapis tujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim as.

3. Dari Langit ke Arasy
Di atas langit lapis tujuh, Nabi Muhammad dapat melihat surga-surga. Dan perjalanan pun dilanjutkan ke tingkat 8, Sidratul Muntaha, di sini malaikat Jibril memperlihatkan bentuk aslinya di hadapan beliau. Dan di sini pulalah batas akhir beliau ditemani oleh malaikat Jibril karena malaikat Jibril sudah tidak kuasa lagi untuk menemani beliau menuju tempat yang lebih tinggi lagi.
Akhirnya beliau seorang diri menuju tingkat ke 9, yaitu Mustawa. Di sini beliau menjumpai keanehan lagi, yaitu ada suara menderu dari kejauhan. Setelah beliau dekati ke sumber suara itu, ternyata berasal dari seberkas sinar yang sangat menyilaukan mata. Betapa terkejutnya beliau karena kilauan sinar itu berasal dari sosok manusia mulia yang sangat dekat dengan Allah. Amalan manusia mulia itu adalah 1) lisannya selalu basah oleh dzikir, 2) hatinya selalu terpaut dengan masjid, dan 3) tidak pernah menyakiti hari kedua orangtuanya. Subhanallah. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk bisa mengamalkan ketiga amalan itu. Amin.
Dan sebagai tingkat yang terakhir, yaitu tingkat ke 10, Arasy, di sini beliau bertemu langsung dengan Allah tanpa perantara. Dan beliau pun menerima perintah sholat 50 waktu, namun karena proses pelobian, akhirnya hanya menjadi 5 sholat wajib sehari semalam yang harus kita kerjakan.

D. Hikmah Yang Dapat Dipetik Dari Kisah Isra’ Mi’raj

Ada tiga hikmah utama yang dapat kita ambi dari kisah perjalanan kisah ini, yaitu:
1. Isra’ Mi’raj adalah sarana untuk menghibur hati Rasulullah sepeninggal dua orang terdekat dan beliau kasihi.
2. Isra’ Mi’raj adalah media untuk menerima perintah sholat wajib 5 waktu. Dari agungnya ibadah ini, Allah tidak langsung memberikan wahyunya kepada Nabi melalui perantaraan malaikat Jibril tetapi Allah sendiri langsung memanggil beliau untuk bertemu dengan beliau. Oleh karena itu, sholat adalah mi’rajnya orang yang beriman. Perjalanan Isra’ Mi’raj ini adalah salah satu bukti kekuasaan Allah yang terhebat, luar biasa dan sulit dijangkau dengan otak dan teknologi modern sekalipun, karena di sini bukan otak yang berperan tapi iman. Banyak kejadian-kejadian dan tamsil-tamsil yang Allah perlihatkan dalam kisah ini yang tentu tidak bisa kami uraikan satu persatu dalam tulisan ini yang itu semua mengandung i'tibar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Semoga dengan uraian yang singkat ini, makin menambah keimanan kita kepada Allah, ibadah kita semakin baik, akhlaq kita semakin mulia. Amin

Mukaddimah

25 Januari 2010

Assalamu'alaikum,
Hallo, semua, apa kabar? baik, khan. Ya, mudah-mudahan gitu dech...!
Aku nich muncul sebagai pendatang baru di blog ini karena aku pengen berbagi informasi dan pengalaman ma temen-temen semua. Aku yakin, di sini kamu akan mendapatkan informasi yang kamu butuhkan. Simak aja ye....