Monday, January 25, 2010

Rebo Wekasan

Latar Belakang Rebo Wekasan

Rebo Wekasan atau yang dikenal juga dengan istilah rebo pungkasan adalah Rabu terakhir di bulan Safar. Pada hari itu, terdapat momentum khusus yang lazim dilakukan sebagian besar masyarakat Jawa tempo dulu.
Ada banyak daerah yang mengklaim kemunculannya. Gresik, misalnya, mengklaim bahwa tradisi rebo wekasan berasal dari sana. Disebutkan bahwa zaman dulu terjadi bencana kekeringan di sebuah desa bernama Pelaman. Padahal Sunan Giri telah memberikan petunjuk kalau ada sumber air yang sangat besar di sekitar Masjid Pelaman. Sayang, lama kelamaan sumber air tersebut menyusut.
Sunan Giri lalu memberi petunjuk kepada warga; jika mereka menemukan tempat yang banyak tumbuh pepohonan, maka akan ada sumber air di sana. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka menemukan tempat tersebut di sebuah desa bernama Pongangan.
Kebetulan, hari itu bertepatan dengan hari Rebo (Rabu) terakhir di bulan Safar. Untuk mengenangnya, warga pun senantiasa memperingati peristiwa tersebut dengan beragam upacara adat.
Di Yogyakarta, tepatnya di desa Wonokromo, Plered, Bantul, juga mengklaim menyelenggarakan rebo wekasan. Yakni digelarnya sebuah upacara pada Selasa malam atau malam Rabu.
Konon, hari Rabu terakhir dalam bulan Safar merupakan pertemuan antara Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kyai Faqih Usman. Berdasarkan hari itulah kemudian masyarakat menamakannya dengan upacara rebo wekasan atau rebo pungkasan. Karena itu, upacara dipusatkan di depan masjid. Namun seminggu sebelumnya, terlebih dahulu diselenggarakan pasar malam.
Upacara rebo wekasan ini sendiri dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, serta ungkapan terima kasih pada kyai pertama di Wonokromo –Kyai Faqih Usman atau Kyai Welit- yang bisa menyembuhkan segala penyakit dan dapat memberikan berkah untuk kesuksesan usaha atau untuk tujuan-tujuan tertentu.
Selain itu, ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan jalan-jalan ke pantai untuk mandi dengan maksud untuk menyucikan diri dari segala kesalahan dan dosa. Namun ada pula yang merayakannya dengan riungan (kumpul bersama) di pagi hari di sebuah masjid. Riungan itu dipimpin oleh imam masjid dan diiringi dengan tahlil dan tahmid serta diakhiri dengan do’a tolak bala’. Setelah itu, barulah jamuan dibagikan kepada peserta riungan untuk dimakan bersama-sama.
Masih dengan maksud menolak bala’, di sebagian tempat ada yang menyelenggarakan rebo wekasan dengan sholat, baik dilakukan secara sendirian maupun berjama’ah. Karena itulah sholat tersebut dinamakan sholat rebo wekasan. Sholat ini biasanya dikerjakan pada Rabu pagi akhir bulan Safar setelah sholat Isyraq, kira-kira mulai masuk waktu Dhuha.
Terkait dengan sholat rebo wekasan ini, Ahmad Buwaethy dalam Rebo Wekasan (lihat www.bimasislam.depag.go.id entry rebo wekasan) menyatakan bahwa tradisi ini bisa jadi bersumber dari sebuah buku berjudul “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus. Di dalamnya diterangkan bahwa sebagian ulama ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) sering melaksanakan sholat pada hari Rabu di akhir bulan Safar. Karena pada hari itu diturunkan 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana ke bumi.

Menyikapi Tradisi Rebo Wekasan

Banyaknya cara dan versi sejarah maupun mitos kemunculannya mengindikasikan bahwa praktik rebo wekasan merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sebagian besar masyarakat Islam di Jawa.
Keinginginan mengungkapkan syukuran, membersihan diri, membaca do’a tolak bala’ dan doa selamat, serta bergembira bersilaturrahim dengan makan bersama tak lain merupakan ajang tahunan warga setempat yang sangat positif.
Sayangnya tak dimungkiri, cukup banyak juga yang memodifikasi perhelatan rebo wekasan ini dengan acara di luar yang disebutkan di atas. Terutama sampai menjurus kepada hal-hal yang berbau syirik, apalagi pada perbuatan asusila dan tindak kriminal.
Seperti pelaksanaan sholat rebo wekasan yang secara nyata bersumber pada pendapat ahli mukasyafah saja. Atas dasar itulah mayoritas ulama mengatakan sholat tersebut tidak dianjurkan, dengan alasan tidak ada hadits yang menerangkannya.
Sikap yang baik terhadap hal ini adalah mengembalikannya pada aturan bahwa semua ibadah didasarkan pada perintah. Jika perintah tersebut tidak ada, tentunya khawatir akan melenceng dari yang digariskan agama. Sebab hakikatnya semua sholat yang kita kerjakan baik wajib maupun sunnah dapat menolak bala’.
Selain sholat rebo wekasan, adanya anggapan bahwa mandi Safar sebagai media pencuci dosa, tarian bersama sinden dengan memasukkan uang ke kemben bagian dalam dada sinden, minuman-minuman, judi dan seterusnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari perhelatan rebo wekasan. Tradisi seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Padahal masih banyak lagi hal-hal positif dari tradisi rebo wekasan yang bisa diterima. Apalagi kalau kita bisa menjadikan tradisi ini sebagai media syiar Islam. Karena itu, perlu kearifan dalam memaknai dan mempraktekkan tradisi ini.

No comments:

Post a Comment